Karena Dia Bapakku

A young man brought her doughter to enjoy the evening together, Herat Afghanistan

Pagi ini kupandangi langit di atas kota kembang. Cerah… dan mentaripun seakan menyambutku dengan senyumnya. Nikmat mana yang bisa manusia dustakan, melihat mentari saja sungguh hati ini takjub akan kuasa-Nya karena seakan mentari tak pernah lelah beredar di peredarannya. Masyaa Allah… Maha besar Allah atas segala kuasa-Nya.

Pagi ini aku merenungi obrolanku dengan Bapak di telfon malam tadi. Mungkin aku sangatlah bosan dengan pertanyaan beliau

“Sudah makan? Kamu harus makan teratur, Bapak nggak akan tenang kalau ntar kamu sakit” setiap menelfon selalu itu yang menjadi kalimat pembukanya seakan itu telah menjadi sebuah template otomatis. Terkadang kalimat itu juga diucapkannya lagi sebelum menyudahi perbincangan atau beliau menelfonku sebentar disela-sela kesibukannya cuma ingin mengucapkan kalimat itu. Benar-benar aku seringkali dibuat bosan olehnya.

Tadi malam, setelah mengucapkan kalimat template, Bapak menanyaiku

“Kapan pulang? Kalau udah libur segera pulang ya, segera beli tiket kereta” katanya.

“Hmm aku Insyaa Allah pulang sebelum idul fitri. Aku…”

Belum sempat memberikan sebuah alasan, beliau sudah berkomentar

“Lhah kan sudah liburan to? Kasihan ibumu udah kangen”

Mau dikatakan apalagi, benar kata Bapak, akupun juga telah merindukan mereka, ibu, bapak, adik, nenek dan keluarga semua di sana.

Tapi lagi lagi mau dikatakan apalagi…

“Bapak, aku harus mengerjakan sesuatu disini. Liburan ini aku harus kerja praktik jadi gak bisa pulang cepet” kataku

“Oh iya deng, Bapak lupa… hehe”

Sebelum menutup telfon beliau memberiku wejangan seperti biasa bahwa aku harus berhati-hati, jangan lupa ibadah dan ditambah lagi sisipan kalimat templatenya. Aku menjawabnya dengan “Hmm” berkali-kali sambil mengangguk-anggukkan kepalaku (manggut-manggut). Aku tahu Bapak tak akan melihat anggukan kepalaku, tapi itu telah menjadi sebuah kebiasaan ketika bapak, ibu dan sesepuh di keluargaku memberikan wejangan, kita sebagai anak-anak atau yang lebih muda selalu manggut manggut, entah bakal dijalanin atau tidak nasihat itu tergantung pada diri kita sendiri.

Sebuah renungan dikala Bapak berkata “ibumu kangen”, memang tak dapat dipungkiri pasti ibu memendam rindu terhadapku, begitupun sebaliknya. Tapi, bagaimana dengan Bapak? Apakah beliau tak merindukanku? Kenapa beliau hanya bilang “ibumu kangen”, kenapa tidak bilang “bapak dan ibu kangen”?

Bapak memang berbeda dengan ibu, jika aku disibukkan dengan kegiatanku disini dan tidak sempat menelfon atau memberi kabar kepada orang-orang rumah, ibu lebih memilih untuk diam dan sesekali melihat handphonenya, berharap ada telfon, atau sms, atau paling tidak misscall dariku. Kalau tidak ada, ya beliau akan sabar menunggu. Berbeda dengan Bapak, setidaknya dalam sehari beliau harus mendengar suaraku walau sekali. Kalau tidak, waaah hpku akan penuh dengan misscall dari beliau.

Bagiku aku tak butuh ucapan kangen darinya. Bapak sering menelfonku di waktu yang tak tepat dan selalu marah-marah ketika aku tak mengangkat telfonnya, kuakui hal itu seringkali membuatku bete, apalagi di tambah dengan kalimat templatenya itu yang membuatku bosan menjawabnya. Tapi yaa begitulah Bapakku, laki-laki yang paling peduli terhadapku dan satu-satunya laki-laki yang selalu mengkhawatirkanku. Seorang laki-laki yang kedudukannya tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun di hatiku. Jika dalam sehari tak ada telfon dari beliau, waah entah kenapa aku merasa hampa karena tanpa disadari telfon dari beliau telah menjadi template dalam hidupku.

Tak perlu dia mengucap rindu karena dia adalah Bapakku. Dia adalah laki-laki pertama yang membuat hidupku selalu berwarna.

Terimakasih Bapak, aku bersyukur karena Allah memberiku Bapak sepertimu. Semoga Allah selalu memberikan rahmat kepadamu berupa hidayah dan cahaya Islam yang selalu menerangi hatimu.

Dari anakmu,

Umi Nadzifah

(image source : dikabaridotcom)

Di Balik Sebuah Gubuk

Mereka berlomba lomba dalam kebaikan.

Long-Race

Kisah ini diangkat dari kisah para sahabat Rasulullah SAW, sebagai seorang muslim kita pasti mengenal Abu Bakar Ash Shiddiq radiyallahu’anhu serta Umar bin Khattab radiyallahu’anhu. Mereka adalah sahabat Rasulullah SAW yang menjadi pemimpin kaum muslim setelah Rasulullah SAW wafat. Semoga Allah senantiasa merahmati kedua sahabat ini.

Abu Bakar diangkat menjadi khalifah pertama sesaat setelah Rasulullah wafat. Sebagaimana kita ketahui bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang memeluk Islam, Allah telah menerangi hatinya dengan cahaya Islam dan beliau selalu mengimani setiap perkataan Rasulullah SAW sebagai utusan Allah SWT.

Dimasa kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab selalu mendampingi Abu Bakar. Umar begitu menghormati sahabatnya itu. Iman mereka terhadap Islam sangatlah besar hingga hati mereka sangatlah lembut dan mereka selalu berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan serta tak pernah gentar membela agama Allah.

14874122197_828b8153c5_z

Suatu hari, Umar radhiyallahu ‘anhu mengawasi Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu di waktu fajar. Sesuatu telah menarik perhatian Umar. Saat itu Abu Bakar pergi ke pinggiran kota Madinah setelah shalat Subuh. Abu Bakar mendatangi sebuah gubuk kecil beberapa saat, lalu dia pulang kembali ke rumahnya. Umar tidak mengetahui apa yang ada di dalam gubuk itu dan apa yang dilakukan Abu Bakar di sana.Umar mengetahui segala kebaikan yang dilakukan Abu Bakar kecuali rahasia urusan gubuk tersebut.

Hari-hari terus berjalan, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap mengunjungi gubuk kecil di pinggiran kota. Umar masih berada dalam kepenasarannya. Sampai akhirnya Umar radhiyallahu ‘anhu memutuskan untuk masuk ke dalam gubuk kecil itu sesaat setelah Abu Bakar meninggalkannya.

Manakala Umar masuk ke dalam gubuk kecil itu, Umar mendapatkan seorang nenek tua yang lemah dan tidak bisa bergerak. Nenek itu juga buta kedua matanya. Umar tercengang dengan apa yang dilihatnya, dia ingin mengetahui ada hubungan apa nenek tua ini dengan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu.

Umarpun bertanya, “Apa yang dilakukan laki-laki itu di sini?” Nenek menjawab, “Demi Allah, aku tidak mengetahui, wahai anakku. Setiap pagi dia datang, membersihkan rumahku ini dan menyapunya. Dia menyiapkan makanan untukku. Kemudian dia pergi tanpa berbicara apapun denganku.”Kemudian Umar menekuk kedua lututnya dan kedua matanya basah oleh air mata. Dia mengucapkan kalimatnya yang masyhur, “Sungguh, engkau telah membuat sulit khalifah sesudahmu wahai Abu Bakar.”

Begitulah kisah dua sahabat Rasulullah SAW yang sangat menginspirasi. Kelembutan hatinya, keteguhan pendiriannya, ketegasannya dalam setiap urusan agama, keadilannya dalam memimpin serta kegigihannya dalam memperjuangkan agama Allah telah menjadikan nama mereka terkenang dalam hati umat muslim.

Namun, disadari atau tidak saat ini nama sahabat Rasulullah kian meredup. Kisah tentang mereka seakan tak pernah terdengar lagi. Entahlah aku sendiri tidak yakin jika aku menanyakan nama-nama sahabat kepada anak-anak muslim sebagai generasi penerus Islam, mereka akan  langsung mengenali nama-nama tersebut.

Astaghfirullahaladzim… Astaghfirullahaladzim… Astaghfirullahaladzim…

Semoga Allah senantiasa  melindungi kita sebagai generasi penerus Islam dari tipu daya setan yang akan membuat iman kita melemah.

Sumber: Ensiklopedi Kisah Generasi Salaf  (http://kisahmuslim.com/)

Cita-Cita Sesungguhnya

bintang-jatuh

Bismillaahirrahmaanirrahiim…

Segalapuji bagi Allah yang sampai detik ini masih mengijinkanku untuk menghirup udara-Nya. Entah sampai kapan Dia akan mengijinkanku untuk hidup di dunia ini. Satu hal yang aku rasakan, semakin lama aku hidup semakin aku merasakan fitnah dunia yang begitu nyata.

Aku hanyalah manusia lemah yang sudah jelas akan mudah terperangkap ke dalam fitnah dunia jika aku jauh dari bimbingan-Nya. Sejujurnya aku pernah merasakan kegelapan itu, dimana aku begitu terobsesi dengan kebahagiaan serta kesuksesan dunia semata.

Di dunia ini aku tak ubahnya seperti butiran debu yang dengan mudah diterbangkan oleh-Nya. Dunia yang ingin aku taklukkan ini, apalah artinya bagi-Nya. Kusadari hidupku begitu tak berarti dengan mengejar sesuatu yang begitu nyata bagi mataku namun terlalu fana bagi hatiku. Aku merasa terjebak dengan duniaku saat ini, dunia dimana orang-orang disekelilingku begitu menginginkan sesuatu yang tak bernilai dihadapan-Nya, seperti yang aku inginkan dulu.

Aku pernah memendam sebuah pertanyaan yang pernah sesekali aku tanyakan kepada teman-temanku, namun jawaban dari mereka adalah hal biasa yang sejujurnya tidak memuaskan rasa penasaranku.

“Aku dulu pernah mempunyai sebuah cita-cita yang sangat menyejukkan hatiku, tapi kenapa sekarang cita-cita itu seakan tak berarti apa-apa untukku? Malah sekarang aku mempunyai cita-cita yang silih berganti datang ke dalam pikiranku dan aku merasa segunung cita-cita telah sesak memenuhi pikiranku? Jujur sekarang aku mulai merasa tak nyaman dengan hal itu.”

Itulah pertanyaanku dan mereka menjawab bahwa hal itu sudah biasa dan sangat wajar terjadi pada setiap manusia, aku hanya perlu berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan segunung cita-cita itu, sukur-sukur kalau tercapai semua.

Tahukah kau teman, awalnya aku juga berpendapat demikian.

Tahukah kau teman, aku mulai menyadari satu hal. Jika aku sudah mencapai satu buah cita-citaku itu, maka beberapa cita-cita lain akan muncul dengan sendirinya. Itulah yang menggangguku dan aku merasa aku tak akan dapat mencapai segunung cita-citaku itu jika gunungan cita-cita yang lain tumbuh bak jamur pada makanan yang telah busuk.

Mungkin teman-temanku waktu itu bertanya-tanya atas perubahanku, sejujurnya aku galau dengan pertanyaan itu. Aku ingin mendapatkan jawaban, sampai kapan aku akan mengejar gunungan cita-cita itu? Apakah jika aku mati nanti aku akan menyesali setiap cita-cita yang belum aku capai? Sejujurnya aku tak ingin menyesali hidupku dan akupun tak ingin menyesal di akhir hidupku. Aku ingin mencari kedamaian dalam hidup.

Suatu ketika aku mendapatkan jawaban atas pertanyaanku yang dapat menenangkan jiwaku, jawaban itu adalah hadist dari seorang suri tauladan bagi setiap manusia di muka bumi ini.

Ibnu Az Zubair pernah berkhutbah di Makkah, lalu ia mengatakan,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَقُولُ « لَوْ أَنَّ ابْنَ آدَمَ أُعْطِىَ وَادِيًا مَلأً مِنْ ذَهَبٍ أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَانِيًا ، وَلَوْ أُعْطِىَ ثَانِيًا أَحَبَّ إِلَيْهِ ثَالِثًا ، وَلاَ يَسُدُّ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ ، وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ »

Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya manusia diberi lembah penuh dengan emas, maka ia masih menginginkan lembah yang kedua semisal itu. Jika diberi lembah kedua, ia pun masih menginginkan lembah ketiga. Perut manusia tidaklah akan penuh melainkan dengan tanah. Allah tentu menerima taubat bagi siapa saja yang bertaubat.” (HR. Bukhari no. 6438)

Aku hanya ingin merefleksi dan bercermin pada diriku sendiri, bagaimana diriku yang dulu memandang dunia ini. Jika aku diijinkan untuk hidup lebih lama lagi aku ingin terbebas dari fitnah dunia yang semakin jelas adanya, namun apakah aku kuat menghadapi fitnah tersebut? Hanya kepada Allah aku ingin bersandar dan hanya kepada-Nyalah aku ingin kembali. Pertemuan dengan-Nya adalah cita-citaku yang sesungguhnya. Menapaki jalan yang terjal untuk bertemu dengan-Nya, membayangkan pertemuan dengan-Nya adalah suatu cita-cita yang sangat indah melebihi apapun.

Dia bersemayam di atas Arsy, melihatku yang kecil, melihat hatiku yang kotor, melihat tingkahku yang hina, apalah artinya diriku ini tanpa petunjuk-Nya.

Jika besok aku kembali, aku hanya ingin kembali kepada-Nya.

Ya Allah, janganlah Engkau berhenti melihatku yang kecil ini, tuntunlah aku untuk dapat meraih air suci untuk mensucikan hatiku yang kotor ini, bimbinglah aku agar aku bisa memperbaiki tingkahku yang hina ini, serta dekaplah aku agar aku selalu mengingat-Mu di setiap hembusan nafas yang Engkau karuniakan kepadaku.

-Nadzifah Al Faris-

Sedang Menunggu

Bismillahirrahmanirrahim…

smile 2

Sekarang udah hampir memasuki bulan Juni, tempat KP masih belum jelas dimana.

Waktu itu lagi jalan sama teman :

Teman : “Umi, jadi gimana KP? Kapan kepastian dari perusahaan?”

Aku     : “Entahlah, hari Jum’at kayaknya”

Teman : “Lah kok perasaan di undur-undur mulu dah? Ya ampun bentar lagi Juni lho, itu udah pasti diterima kan?”

Aku     : “Ya belum tentu, masih mau dirapatin katanya”

Teman : “Kok Umi santai banget?”

Aku     : “Hahaaa bingungnya udah berlalu, sekarang mah tinggal pasrah, yang penting udah usaha maksimal kesana-kemari. Sekarang tinggal menunggu hasil”

Teman : “Hahaa, dasarlaaah”

Menunggu sebuah kepastian itu rasanya bener-bener nggak karuan. Digantung untuk waktu yang amat panjang tapi setelah itu mendapatkan sebuah penolakan secara halus. Pas banget seorang teman ngechat aku via line

Teman : “Umi, KP gimana?”

Aku     : “Hehe, ditolak”

Teman : “Ya ampun… trus gimana?”

Aku     : “Ya nyoba apply ke tempat lain. Hehe”

Teman : “Tetep semangat ya, Mi. Semoga kali ini ketrima”

Aku     : “Amiin. Thanks yaa”

Nyesek emang kelihatannya, tapi entah kenapa rasanya nggak nyesek-nyesek amat kok. Semua ini udah direncanakan sama Allah SWT. Yang penting sabar dan ikhlas. Allah tau yang terbaik untuk setiap hamba-Nya. Semoga pengajuan KP yang terakhir ini ketrima dan Allah memberikan kemudahan untuk setiap urusannya.

Amiin.

By : Nadzifah Al Faris

Tali Sepatu dan Amplop Merah

amplop merah

Panas terik matahari tak berhasil menyurutkan semangat siswa-siswi SMA Harapan 02 untuk melaksanakan kegiatan rutin di sekolahnya.

“Kau pulanglah duluan. Aku lagi nunggu abangku”

“Oke, kunci di kamu kan Lit?” Lita mengangguk sementara Farah meninggalkan ruangan kelas duluan.

Namanya Lita, siswi kelas 2 SMA itu kini tengah sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Dan lagi untuk yang kesekian kalinya ia menemukan amplop merah marun di laci bangkunya. Dia membukanya dan membaca isinya, kemudian keluar kelas dan tak lupa mengunci pintu kelasnya.

“Gimana mengkudunya?” tanya seorang cowok yang beberapa menit lalu baru tiba di depan gerbang sekolah.

Namanya Rifki, seorang mahasiswa jurusan psikologi semester 5 di salah satu universitas negeri di Medan. Rifki tak lain adalah kakak laki-laki Lita, yah sebut saja abang satu-satunya.

“Mau ngulang aja deh bang kayaknya” jawab Lita yang kuwalahan dengan barang bawaannya.

“Lah kenapa?” tanya Rifki.

“Ummm gosong pas di oven tadi” jawaban Lita membuat Rifki tertawa terbahak-bahak.

Lita mempunyai sebuah misi mengubah mengkudu,buah yang paling tidak ia suka karena baunya yang menyengat menjadi sesuatu yang bermanfaat. Dia ingin membuat kapsul dari serbuk mengkudu karena diketahui mengkudu dapat mengatasi hipertensi, menyembuhkan batuk, mengobati sakit perut, mengobati sakit kuning, dan masih banyak lagi manfaat yang bisa diambil dari buah tersebut.

“Mulai deeeh, bantuin kenapa?” Lita mulai sebel dengan abangnya karena dia sedang kesusahan untuk memakai helm sementara di tangan kiri dan kenannya penuh dengan perlengkapan oven yang ia bawa dari rumah..

“Iye iye…” Rifkipun memakaikan helm di kepala Lita.

“Dapet amplop merah lagi tak?” tanya Rifki.

“Dapet, ini ambil aja di tas bagian luar” dengan gesit Rifki membuka resleting bagian depan tas ransel adiknya, lalu ia membuka isi dari amplop merah marun itu, membaca dalam hati lalu tertawa.

“Udah ah yuk pulang” Lita menghentikan gelak tawa abangnya.

———————————————————————————————————————————————————-

Hari Minggu

“Bang, aku nitip sepatu di jemuran atas yaa… kalo hujan tolong angkatin” kata Lita dari balik pintu kamar abangnya.

“Heemm, eh kamu mau kemana?” tanya Rifki.

“Ke sekolah bang, ngurus mengkudu. Oya bang jaga rumah ya, ibu lagi jenguk Bu Ria di rumah sakit” kata Lita

“Iye, udah tau…” jawab Rifki ketus.

“Eh abang lagi ngapain?” tiba-tiba kepala Lita masuk ke pintu kamar abangnya, dia melihat abangnya tengah sibuk dengan lima surat dari  amplop merah.

“Ya ela abang, ngapain sih bang ngurus itu surat. Nggak penting amat” kata Lita.

“Eh diem anak kecil. Abangmu ini lagi ada misi” jawab Rifki sok misterius.

———————————————————————————————————————————————————-

Senin pagi (pukul 06.32 WIB)

“Abaaaang, tali sepatuku mana?” teriak Lita

“Tali sepatu apaan?” tanya Rifki

“Tali sepatukulah bang, kan kemaren abang yang ambil dari jemuran atas…”

“Lah emang iya…” jawab Rifki

“Trus mana?”

“Apanya dek, abang kemaren cuma ngambil sepatunya doang, nggak ada talinya”

“Harusnya ada bang, di jemuran atas” Lita udah mulai kesel.

“Nggak ada dek, abang nggak liat” Rifkipun menuju kamarnya dan mengambil sepasang tali sepatu warna cream dan memberikannya pada Lita.

“Ih abaaaang, mana bisa warna cream? Abang harus item ini, sepatunya kan item dan sekarang upacara abaang” rengek Lita.

“Kemaren amplop merah, sekarang tali sepatu. Hmm ada aja yang bikin kepala pusing. Pusing kepala abang dek” kata Rifki.

Lita sudah pasrah dengan tali sepatunya yang hilang,dia sudah mencarinya kemana-mana tapi tetep nggak ketemu sementara jam sudah menunjukkan pukul 06.48 WIB. Litapun memasang tali sepatu pemberian kakaknya di sepatu hitamnya.

———————————————————————————————————————————————————-

2 tahun kemudian

“Bang, jangan kangen ama aku ya…” kata Lita

“Hahaaa… ngapain kangen dek, kamu akan selalu bareng abang” Rifki mencoba untuk tegar di hadapan adiknya

“Terimakasih ya bang. Lita sayang abang” pernyataan Lita membuat Rifki tak kuasa menahan air matanya.

Satu tahun terakhir Lita diketahui mengidap penyakit gagal ginjal, hari ini dia menghembuskan nafas yang terakhir.

2 hari setelah hari berkabung

Rifki memasuki kamar Lita dengan tujuan untuk membersihkan kamarnya. Tiba-tiba ia menemukan sepatu hitam dengan tali warna cream dibawah meja belajar adiknya. Selain sepatu itu, Rifki juga menemukan sebuah catatan adiknya yang isinya terdapat tempelan surat dari amplop merah sebanyak 11 surat serta dia juga menuliskan sebuah catatan yang berisi

Abang, aku tak peduli tentang siapa pengirim surat ini. Tapi aku senang karena dengan adanya surat ini aku tau seberapa sayangnya abang ama aku. Aku tau misi abang mengenai surat dari amplop merah ini adalah ngejagain aku, terimakasih bang. Mungkin umurku tak akan panjang lagi, tapi aku bahagia karena punya mama yang sayang ama aku serta abang yang sangat peduli ama aku. Abang, jagain mama yaaa… jika tiba saatnya aku akan pergi ke papa karena aku rindu papa

Rifki lagi-lagi tak kuasa menahan air matanya. Tapi dia sadar bahwa kini adeknya telah pergi untuk selama-lamanya. Tali sepatu serta surat amplop merah  adalah sesuatu yang akan selalu mengingatkannya kepada sang adik tersayang.

By : Nadzifah Al Faris

Teruntuk Ibuku Tercinta

(gambar diambil dari www.islampos.com)

(gambar diambil dari http://www.islampos.com)

Ibu aku memang tak tahu bagaimana aku bisa mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang engkau baca dan do’a-do’a yang setiap hari engkau panjatkan kepada Allah SWT ketika aku masih menjadi janin di dalam perutmu…

Ibu…

Walau aku tak pernah ingat apa yang aku rasakan saat aku berada di dalam kandungan yang selalu engkau bawa dengan penuh kasih sayang kemanapun engkau pergi, namun aku yakin saat itu aku ingin segera lahir ke dunia dan aku yakin aku ingin engkau menjadi orang pertama yang aku lihat ketika Allah membuka anugerah penglihatanku untuk melihat indahnya dunia ciptaaNya…

Ibu…

Engkaulah orang pertama yang membuatku tersenyum setelah jerit pertamaku keluar dari mulutku saat aku merasakan dinginnya suhu bumi untuk yang pertama kalinya…

Ibu…

Bersamamu aku merasa nyaman,

Bersamamu aku tenang,

Dan bersamamu aku bisa melakukan banyak hal…

Bagiku senyummu adalah lukisan terindah yang ingin selalu aku lihat,

Yang akan selalu tersimpan di dalam hatiku…

Ibu…

Engkaulah orang yang paling mengerti aku,

Kejengkelanmu akan tingkahku yang konyol selalu kau akhiri dengan senyum dan tawa yang semakin membuatku yakin bahwa kasih sayangmu kepadaku sangat jauh lebih besar jika dibandingkan dengan amarahmu atas kekonyolanku waktu itu…

Ibu…

Masih melekat erat di benakku bagaimana engkau memperkenalkan arti sebuah cita-cita kepadaku kala itu dan juga bagaimana harapan yang engkau berikan kepadaku…

Engkau berkata dan selalu berdo’a agar aku tumbuh menjadi orang yang berguna bagi masyarakat luas…

Ibu…

Kini anakmu ini telah memutuskan untuk melangkahkan kaki meninggalkan engkau di kampung halaman sana…

Berat memang ibu…

Sangat berat ketika aku melihat air mata keluar dari mata indahmu itu menandakan perpisahan kita…

Perih dan sesak menggumpal di dalam dada ini ketika pelukan yang setiap hari aku rasakan, saat itu menjadi pelukan terakhir dan tidak akan aku rasakan dalam waktu yang lama…

Terlukis dengan jelas bagaimana kekhawatiran menghiasi raut wajahmu saat perpisahan itu…

Aku tahu engkau sangat mengkhawatirkanku yang akan jauh darimu, bagaimana aku bisa bertahan di tempat baruku tanpa engkau yang selalu memberikan kasih sayang yang utuh kepadaku…

Kecemasan juga sangat tampak manghiasi wajah lembutmu bersama air matamu,

Aku tahu engkau sangat cemas karena tidak bisa mangawasi perkembangan anakmu ini…

Ibu…

Kini memang raga ini jauh darimu,

Tapi tidak untuk hati ini…

Aku selalu merasa dekat denganmu,

Sangat dekat karena engkau selalu berada di dalam hatiku…

Ibu,

Langkahku yang berjalan menjauhi kampung halaman kita ini merupakan langkahku menjalankan misi hidupku,

Langkah untuk mengejar visi hidupku dan untuk meyakinkan Allah SWT bahwa harapan-harapanmu pantas untuk dikabulkan…

Ibu…

Aku yakin do’a-do’a yang engkau panjatkan kepada Allah SWT selalu menemani setiap langkahku…

Aku akan selalu berusaha melakukan dan memberikan yang terbaik untukmu Ibu…

Insyaallah suatu saat nanti aku akan kembali ke dalam pelukanmu dengan membawa harapan-harapanmu yang telah dikabulkan oleh Allah…

Amiin Ya Rabbal Alamiin…

Ibu,

Tersenyumlah untuk setiap langkahku…

Walau senyum itu tak terlihat oleh mataku,

Tapi hati ini akan selalu merasakannya…

By : Nadzifah Al Faris