Pagi ini kupandangi langit di atas kota kembang. Cerah… dan mentaripun seakan menyambutku dengan senyumnya. Nikmat mana yang bisa manusia dustakan, melihat mentari saja sungguh hati ini takjub akan kuasa-Nya karena seakan mentari tak pernah lelah beredar di peredarannya. Masyaa Allah… Maha besar Allah atas segala kuasa-Nya.
Pagi ini aku merenungi obrolanku dengan Bapak di telfon malam tadi. Mungkin aku sangatlah bosan dengan pertanyaan beliau
“Sudah makan? Kamu harus makan teratur, Bapak nggak akan tenang kalau ntar kamu sakit” setiap menelfon selalu itu yang menjadi kalimat pembukanya seakan itu telah menjadi sebuah template otomatis. Terkadang kalimat itu juga diucapkannya lagi sebelum menyudahi perbincangan atau beliau menelfonku sebentar disela-sela kesibukannya cuma ingin mengucapkan kalimat itu. Benar-benar aku seringkali dibuat bosan olehnya.
Tadi malam, setelah mengucapkan kalimat template, Bapak menanyaiku
“Kapan pulang? Kalau udah libur segera pulang ya, segera beli tiket kereta” katanya.
“Hmm aku Insyaa Allah pulang sebelum idul fitri. Aku…”
Belum sempat memberikan sebuah alasan, beliau sudah berkomentar
“Lhah kan sudah liburan to? Kasihan ibumu udah kangen”
Mau dikatakan apalagi, benar kata Bapak, akupun juga telah merindukan mereka, ibu, bapak, adik, nenek dan keluarga semua di sana.
Tapi lagi lagi mau dikatakan apalagi…
“Bapak, aku harus mengerjakan sesuatu disini. Liburan ini aku harus kerja praktik jadi gak bisa pulang cepet” kataku
“Oh iya deng, Bapak lupa… hehe”
Sebelum menutup telfon beliau memberiku wejangan seperti biasa bahwa aku harus berhati-hati, jangan lupa ibadah dan ditambah lagi sisipan kalimat templatenya. Aku menjawabnya dengan “Hmm” berkali-kali sambil mengangguk-anggukkan kepalaku (manggut-manggut). Aku tahu Bapak tak akan melihat anggukan kepalaku, tapi itu telah menjadi sebuah kebiasaan ketika bapak, ibu dan sesepuh di keluargaku memberikan wejangan, kita sebagai anak-anak atau yang lebih muda selalu manggut manggut, entah bakal dijalanin atau tidak nasihat itu tergantung pada diri kita sendiri.
Sebuah renungan dikala Bapak berkata “ibumu kangen”, memang tak dapat dipungkiri pasti ibu memendam rindu terhadapku, begitupun sebaliknya. Tapi, bagaimana dengan Bapak? Apakah beliau tak merindukanku? Kenapa beliau hanya bilang “ibumu kangen”, kenapa tidak bilang “bapak dan ibu kangen”?
Bapak memang berbeda dengan ibu, jika aku disibukkan dengan kegiatanku disini dan tidak sempat menelfon atau memberi kabar kepada orang-orang rumah, ibu lebih memilih untuk diam dan sesekali melihat handphonenya, berharap ada telfon, atau sms, atau paling tidak misscall dariku. Kalau tidak ada, ya beliau akan sabar menunggu. Berbeda dengan Bapak, setidaknya dalam sehari beliau harus mendengar suaraku walau sekali. Kalau tidak, waaah hpku akan penuh dengan misscall dari beliau.
Bagiku aku tak butuh ucapan kangen darinya. Bapak sering menelfonku di waktu yang tak tepat dan selalu marah-marah ketika aku tak mengangkat telfonnya, kuakui hal itu seringkali membuatku bete, apalagi di tambah dengan kalimat templatenya itu yang membuatku bosan menjawabnya. Tapi yaa begitulah Bapakku, laki-laki yang paling peduli terhadapku dan satu-satunya laki-laki yang selalu mengkhawatirkanku. Seorang laki-laki yang kedudukannya tidak akan pernah bisa digantikan oleh siapapun di hatiku. Jika dalam sehari tak ada telfon dari beliau, waah entah kenapa aku merasa hampa karena tanpa disadari telfon dari beliau telah menjadi template dalam hidupku.
Tak perlu dia mengucap rindu karena dia adalah Bapakku. Dia adalah laki-laki pertama yang membuat hidupku selalu berwarna.
Terimakasih Bapak, aku bersyukur karena Allah memberiku Bapak sepertimu. Semoga Allah selalu memberikan rahmat kepadamu berupa hidayah dan cahaya Islam yang selalu menerangi hatimu.
Dari anakmu,
Umi Nadzifah
(image source : dikabaridotcom)